Rabu, 27 Mei 2015

SEMARANG, suaramerdeka.com – Pengembangan desa wisata menghadapi dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, desa-desa tersebut dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman.

Di sisi lain, mereka juga diminta untuk mempertahankan “kedesaannya.” Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jateng, Totok Riyanto mengakui, beberapa desa seolah justru berubah menjadi kota.

“Ada beberapa yang pengembangannya sudah tidak sesuai. Mereka terlalu mengikuti kebudayaan kota, sehingga tak lagi memiliki keunikan,” jelasnya usai membuka acara Peningkatan Kemampuan Teknis Pengelola Homestay disebuah hotel di Kabupaten Semarang, Selasa (26/5).

Meski begitu, Totok juga mengingatkan, pengembangan desa tersebut juga harus mempertimbangkan zaman. Pengembangan homestay misalnya, harus menyesuaikan beberapa prinsip menyangkut standar kesehatan dan juga pariwisata.

Dia memberi contoh, ada homestay yang letak kamarnya berdekatan dengan kandang kambing. Hal itu tentu membuat ketaknyamanan. Kepala Seksi Usaha Pariwisata, Rastiyono, menambahkan jumlah desa wisata dan homestay di Jawa Tengah terus tumbuh. Tahun 2014 tercatat, 125 desa wisata yang memiliki 823 homestay.

Jumlah itu menurutnya meningkat dibanding sebelumnya. Acara kemarin diikuti puluhan pengelola homestay dari tujuh kabupaten dan kota. Mereka berasal dari Kabupaten Semarang, Kabupaten Jepara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Magelang, Kabupaten Banjarnegara, dan Kota Magelang.

Kegiatan akan berlangsung hingga Jumat (29/5). Tak hanya menerima paparan dari para ahli pariwisata, para peserta juga
akan mempraktikannya langsung dan juga studi banding ke Kota Batu, Jawa Timur.


Tagged: , , , , , , , , ,